Senin, 03 Januari 2011

Kaum Miskin dan Pemimpin Pragmatis

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Indonesia memerlukan jalan baru berlandaskan kebhinnekaan, pluralisme, dan keragaman budaya. Itu karena jalan yang selama ini digunakan justru memicu kemerosotan dan kemiskinan structural serta memperkokoh neokolonialisme.
Sementara itu, kebangkitan yang ditandai meningkatnya kesejahteraan masyarakat hanya akan tercipta jika ada tindakan nyata yang disertai ketulusan. Konsep dan retorika, yang disertai kepentingan tertentu, tidak akan membantu membangkitan sebuah bangsa.

Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
• penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
• penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
• penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
• penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
• penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

Orang Miskin
Dengan kata lain, kini Indonesia membutuhkan pemimpin yang pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan, khususnya menuntaskan masalah yang terkait ini yaitu, kemiskinan.
Selama 64 tahun perjalanan bangsa, kaum miskin sering hanya diobyekkan sebagai kendaraan politik untuk mengantar elite ke tampuk kekuasaan. Begitu kekuasaan diraih, orang miskin kembali harus menghadapi realitas kehidupan yang pahit. Sekolah bagi anak-anak mereka kian mahal. Sakit kian susah meski sudah ada askeskin. Raskin (beras untuk kaum miskin) sering berulat dan tak layak konsumsi.
Para elite yang kini berkuasa tentu tidak bisa menerima pernyataan itu karena sistem yang ada kini dan sudah tidak dilestarikan sejak zaman kepresidenan Soeharto justru menguntungkan para penguasa. Mendiang Mubyarto, menulis buku “Ekonomi Terjajah”. Dalam buku itu antara lain tertulis “Dibanding zaman Belanda, perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih buruk”. Adnan Buyung Nasution, kala di Belanda, sering menyebut Soeharto biang bangkrutnya moralitas bangsa Indonesia karena praktik bernegara penuh KKN mulai subur sejak Soeharto berkuasa (1965-1998).
Sayang, moralitas buruk dan ketidakbenaran yang masih terus berlangsung hingga kini amat mendukung kepentingan para elite. Simak saja APBN kita hanya melestarikan birokrasi biaya tinggi, membuka peluang korupsi dan uang receh seperti (seperti bantuan langsung tunai dan raskin). Yang diberikan bukan model pinjaman kredit untuk lapangan kerja baru bagi orang miskin seperti model M. Yunus dan sukses dipraktikan Nestor Kirchner, Presiden Argentina,sejak 2003 lalu.
Jadi percuma meneriakkan perlunya perubahan dan jalan baru jika sistem pemerintahan yang ada kini masih mewarisi model lama yang basi. Simak reformasi yang digagas mahasiswa pada tahun 1998, gagal total karena hanya fokus untuk menjatuhkan Soeharto, tetapi tidak fokus merubah birokrasi rezim Soeharto. Teriakkan reformasi birokrasi, seperti muncul di banyak media, jatuh menjadi wacana yang tidak menggerakkan adanya reformasi atau perubahan sama sekali. Demikian juga gerakan reformasi. Gerakan itu gagal karena ternyata para pegiat dan penggagasnya begitu memasuki sistem kekuasaan (birokrasi) juga larut mengikuti mentalitas lama yang korup dan hanya sibuk memprkaya diri.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup :
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Mainan Elite
Bahkan nasib kaum miskin kerap menjadi mainan kaum elite dan politisi kita. Lihat, mereka sibuk berpolemik dengan soal jumlah orang miskin. Menyedihkan, jumlah orang miskin bisa dipolitikkan demi kepentingan melestarikan kekuasaan yang sama sekali tidak berpihak pada kaum miskin. Para penguasa sekarang membantah jumlah orang miskin bertambah meski ada yang menyebut selama beberapa tahun Presiden SBY berkuasa, jumlah orang miskin bergerak dari 34 juta ke 37 juta. Tak heran, lawan-lawan Presiden SBY berargumentasi, rapor Presiden SBY merah karena gagal mengatasi kemiskinan. Namun, jangan lupa pendapat lawan Presiden SBY itu juga hanya memperalat orang miskin demi keuntungan PilPres.
Orang asing di Indonesia pun pusing karena ada banyak kategori orang miskin (mulai dari prasejahtera satu, prasejahtera dua, dan sebagainya). Padahal orang miskin tak butuh dikategorikan atau polemik soal jumlah. Hampir 10000 penghuni kolong tol di Jakarta yang digusur hanya butuh rumah, seperti 400000 orang lain di Jakarta. Separuh dari jumlah penduduk kita yang masuk standar miskin menurut Bank Dunia (hidup dibawah dua dollar AS perhari) hanya butuh makan cukup, tersedia pekerjaan, dan rumah layak.
Dan untuk kebutuhan orang miskin seperti itu, hanya perlu pemimpin pragmatis seperti Hogo Chavez atau Nestor Kirchner. Seorang pemimpin harus pragmatis, jangan gampang larut dalam retorika mandul dan pertengkaran ideologis yang memuakkan tetapi tidak menghasilkan apa-apa bagi rakyat. Jika orang miskin butuh makan, pekerjaan, dan rumah, kebutuhan itu direalisasikan. Terbukti Chaves dan Nestor mampu memperbaiki martabat orang miskin di Negara mereka. Indonesia butuh pemimpin pragmatis, khususnya untuk masalah kemiskinan.
Pragmatisme dikenalkan filsuf pragmatis William James (1842-1910). Namun, sejarah kita penulis Wedatama yang mengatakan, Ngelmu Kuwi Kelakoni Kanthi Laku. Artinya, ilmu itu akan hanya tampak mengejawantah jika dilakukan dan dipraktikkan dalam hidup. Demikian juga kepemimpinan yang visioner atau berkarakter dengan bekal teori politik tinngi, penting bagi negeri ini. Namun, visi yang bagus atau karakter yang hebat hanya bisa diukur jika teori bisa dijabarkan dalam realitas dan tidak terjebak dalam retorika. Para pemimpin besar dunia, dari Musa, Genghis Khan, hingga Napoleon Bonaparte, adalah sosok yang berani bertindak. Jadi, yang amat mendesak untuk bangsa ini adalah pemimpin pragmatis, manusia empiris yang berani bertindak, dan tidak terjebak jargon-jargon politik yang retoris untuk memecahkan masalah yang ada, termasuk kemiskinan. Apalagi orang miskin saat mereka lapar, hanya butuh makan, tidak butuh pidato politik.

Menghilangkan kemiskinan
Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
• Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
• Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
• Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.

Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang seperti dinegeri kita ini, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang. Negara Indonesia ini harus berubah dari kemiskinan untuk menjadi Negara Indonesia yang sejahtera dan itu pun harus memiliki pemimpin yang pragmatis agar negeri ini berubah.

Sumber : Kompas

Aulia Rahman/24209963/2EB18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar